Monday, November 22

sketsa pejalan kaki dan aroma kopi



kita pejalan kaki,
kerap berkali kali jatuh di ranah yang sudah terpatri
kita pejalan kaki,
dengan malam mengalir dikolong kolong mimpi

kita pecandu,
aroma puisi hangat tersaji dalam cangkir kopi
juga namanama penyair yang dibawa
hujan kala mencandu di sore hari
kita kekasih,
dengan balutan malam mengisi gelasgelas bir tinggi
juga namanama ingatan yang diantarkan
angin patah dilahirkan dari rahim memori,
kita penenun sunyi,
dibalik mesin pintal bersama memenun puisi
dengan kosakata yang sudah basi
dan kerap mencari diantara ayatayat yang pucat pasi
sebab,
engkaulah Layla dan akulah Qays
yang sama-sama gila ketika rindu pergi tanpa permisi
sebab,
kita pecinta,
peluruh rapalan-rapalan para nabi,
hingga nanti kitalah penulis ajaran itu sendiri

" kita pejalan kaki,
suatu saat akan membuat jalan sendiri
dan malam akan mengakhiri
dengan kecupan gaib-gaib puisi "


( 2009 - 2010, Kepada Bunga Bunga Matahari )

Saturday, November 20

sajak perempuan pemanggil semesta



entah berapa lama harus kususun,
perkamenperkamen basi ini
sehingga menyerupai purnama pucat pasi ?


aku tersadar,
berada dalam pendopo ini,
dengan roncean melati juga kemboja para pemuja semesta
lalu engkau hadir,dengan senja yang mengungsi
ke dalam bibirmu,terkunci rapat hingga enggan melahirkan kupukupu
( dan kau menarikan puisipuisi diantara nyanyiannyanyian sunyi)
ah, memang perempuan
dengan senja dalam bibirmu,merubah cerita menjadi mantra
ah, memang perempuan
dengan senja dalam bibirmu, mengajari aku menenun kata
ah,memang perempuan
seperti mahadewi merajut malam menjadi puisi
( angkaangka arloji pun berantakan bersama abuabu rokok )
kerap mulailah bersama menanti,
kapan pengantinpengantin
menggunting daun pintu langitlangit sunyi
senja pun, menguraikan tak pasti
hingga kita mati dalam pendopo yang sepi
dan menjadi mayatmayat tanpa arti

entah berapa lama harus kita susun,
perkamenperkamen basi ini
sehingga menyerupai purnama pucat pasi ?


(2009-2010, Kepada Bunga Bunga Matahari )

Wednesday, November 17

sketsa kupukupu dalam mata kita


sisihkan hujan di antara matamu,
dan aku akan menadah ketika serpihannya
mulai meluruh dalam darah pipimu
gelasgelas mulai berkabut,
dan asap rokok mulai bersenggama dengan udara
. sedangkan kita, masih bercengkrama bersama kupukupu yang lahir dari masing masing kelopak mata.
aku menguncupkan sepucuk kemboja di dalam hatiku, sedangkan kau menitikan doa tanpa makna ( dan seharusnya kita sudah bersiap, ketika tabir senja tiba dengan rintihan para perindu semesta,melangkahi ruas ruas nadi untuk menjemput ) ketika sekarang benarbenar tiba, para perindu menjemput kita, dan tersadar kau dan aku berada di dermaga yang berbeda, ketika pluit bernada,waktu pun tiba. kau dan aku, entah kemana kita melebur dalam tiada, perihpun menguraikan iba

( 2010, ketika hujan pun bercengkrama )

Sunday, November 14

pada perempatan selasar



lihat kita,sudah sejauh ini melangkah dan aku hanya meminta,
untuk menikmati sisa perjalanan
meski,kita harus berpisah di perempatan kesekian nanti
aku masih menemanimu,menggenggam erat pergelangan tanganmu berjalan menyelusuri selasar ini, tanpa arah tujuan hanya berandalkan kaki menapak batuan
lalu ketika suara bising musik penari mulai menghampiri,
kita mabuk, dalam keruh gin,bailey's dan bacardi
sesaat berlalu pergi, kita kembali berada di selasar sepi
ah, cinta hanyalah jalan lurus tanpa tikungkan yang harus kita lalui
dan siap berpisah ketika ada persimpangan nanti
( kau memejamkan mata dan menyautkan doa dengan bahasa tuhanmu )

maaf, aku harus memotong doadoa tanpa arti dari bibirmu
dan lihat,aku masih disampingmu,
mari tuntaskan perjalanan ini
sebelum purnama memerah seperti darah yang basi dan saat kau tersadar,
bahwa selasar ini sudah mati

(2010)

Saturday, November 13

penantian



jika sekarang kau membisu
dalam deburan semesta,
maka carilah aku,
di antara samudra
kelak temui aku di ujung dermaga,
dalam nyanyian camarcamar angkasa
kita bisa
menata senja bersama,
sebelum mati melebur di cakrawala,
sebelum waktu kita tiba
menembus malam yang mengalir
dalam tubuh hina


( 2010, dalam pojok berdebu )

ruangan dan secangkir hujan




biarkan cangkirku terisi penuh hujan kirimanmu,
dan aku akan istirah
dengan desah dari bibirmu yang merah


kelak aku merindu,
jemarimu membersihkan kerah bajuku,
dan hangatmu dalam gelas susu
kini hanya sisa nafasmu yang tertinggal pelan
dalam lemariku
benarkan, aku merindu
bersama debu yang bercumbu dengan kayu tua,
seraya lumpuh dimakan rayaprayap tanpa iba
meski derap langkahmu, mengetuk loteng kala aku bercinta
aku tahu engkau sedang menari diantara sarang labalaba,
(aku melihat arlojiku )
ah,waktuku habis
biar aku mengunci rapat kamar ini
kelak, namamu terjahit erat di kelambu jendela
aku permisi !

(2010)